JAKARTA | Diperlukan langkah-langkah strategis mengatasi isu hukum dosen PNS yang berpraktik sebagai advokat tidak bergabung dalam Organisasi Advokat baik melalui revisi Undang-Undang Advokat, harmonisasi regulasi, maupun pendidikan etik yang lebih komprehensif.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 150/PUU-XXII/2024 telah memberikan peluang baru bagi dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menjalankan profesi advokat. Putusan ini secara fundamental membuka ruang bagi dosen PNS untuk memanfaatkan keahlian hukum yang dimiliki untuk menjalankan praktik advokasi dan bantuan hukum di sidang pengadilan. Peluang ini sejatinya dapat memperkaya pengalaman akademik dosen PNS. Namun demikian, muncul ketentuan yang justru menjadi permasalahan mendasar. Ketentuan ini menyisakan kekosongan hukum (rechtvacuum) yang berpotensi menimbulkan masalah serius dalam tata kelola profesi advokat.
Sebagaimana tercantum dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 150/PUU-XXII/2024, dosen PNS tidak bisa serta merta dapat berpraktik sebagai advokat. Ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi oleh dosen PNS ketika berpraktik menjadi advokat di hadapan persidangan. Syarat-syarat tersebut yakni:
1. Telah lulus ujian kompetensi advokat yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
2. Status advokat diberikan dalam rangka pengabdian kepada masyarakat dan hanya dapat diberikan jika dosen PNS telah mengabdi sebagai pengajar sekurang-kurangnya 5 tahun di perguruan tinggi yang bersangkutan;
3. Harus bergabung dan telah mengabdi minimal 3 tahun secara berturut-turut pada lembaga bantuan hukum atau nama lain yang dibentuk perguruan tinggi bersangkutan dan tidak diperbolehkan membuka kantor hukum (law firm) sendiri dan hanya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo/probono) untuk masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang;
4. Lembaga bantuan hukum perguruan tinggi dimaksud telah terakreditasi pada kementerian yang berwenang;
5. Jumlah advokat dalam lembaga bantuan hukum atau nama lain dimaksud tidak melebihi dari jumlah bagian/departemen fakultas hukum pada perguruan tinggi dimaksud;
6. Setiap pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksudkan pada poin 3 harus mendapat izin dan setelah selesai harus melaporkan kepada pimpinan perguruan tinggi, in casu dekan fakultas hukum;
7. Tidak bergabung dan aktif sebagai anggota dalam organisasi advokat.
Dalam persyaratan nomor 7, potensi permasalahan kemudian muncul. Jika dosen PNS yang hendak berpraktik menjadi advokat tidak bergabung dengan Organisasi Advokat, lantas bagaimanakah pengawasannya? Apakah dosen PNS tersebut merdeka menjalankan profesi advokat tanpa pengawasan etik? Sementara profesi advokat adalah profesi mulia (officium nobile) yang harus dijaga marwahnya karena sebagai bagian dari penegak hukum. Problematika demikian yang perlu dilihat secara cermat agar Putusan MK tersebut tidak berhenti pada euforia norma baru yang memberikan peluang dosen PNS untuk mendapatkan pengalaman baru dan mengamalkan ilmunya semata, tetapi marwah profesi advokat tidak diperhatikan dan dipikirkan secara matang.
Kekosongan Hukum dan Potensi Masalahnya
Pasal 26 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) secara eksplisit menetapkan bahwa Organisasi Advokat memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik Profesi Advokat, serta berhak mengadili pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggotanya melalui Dewan Kehormatan. Dengan adanya larangan bagi dosen PNS yang berpraktik sebagai advokat untuk bergabung pada Organisasi Advokat, maka muncul pertanyaan fundamental: Siapa yang akan mengawasi dan menegakkan kode etik terhadap dosen PNS yang berpraktik sebagai advokat?
Dalam konteks ini, kekosongan hukum menjadi sangat nyata. Dosen PNS yang menjalankan profesi advokat berada di luar jangkauan pengawasan Organisasi Advokat, sehingga tidak ada mekanisme kontrol yang jelas terhadap perilaku profesional yang dilaksanakan sebagai penegak hukum. Hal ini membuka celah bagi potensi pelanggaran kode etik tanpa konsekuensi yang memadai.
Kondisi inilah yang secara teoretik dikatakan oleh Alan Badiou sebagai part of no part. Berdasarkan pemikiran Alain Badiou, konsep “part of no part” merujuk pada kelompok yang secara formal tidak diakui sebagai bagian dari sistem politik yang berlaku, tetapi justru menjadi elemen krusial dalam sistem tersebut. Dosen PNS yang berpraktik sebagai advokat merupakan bagian penting dalam usaha pencarian keadilan melalui advokasi bagi kaum the poor.
0 Komentar